[aswaja_big_letter]Pernah sebelumnya saya kupas mengenai Tafsir al-Tsauri yang berasal dari kumpulan pendapat seorang ulama klasik Sufyan al-Tsauri. Kali ini saya mau membahas tafsir dua tokoh Mu’tazilah, yaitu Abu Bakar al-Asham dan Abu Muslim al-Asfahani.[/aswaja_big_letter]
Kedua tokoh ini tidak memiliki kitab tafsir yang utuh atau kalaupun ada ternyata kitab tafsir mereka tidak sampai kepada kita, maka pandangan mereka terserak di sejumlah kitab tafsir.
Al-Asham adalah hakim dan ulama yang wara’ pada abad ketiga Hijriah. Ia berasal dari Bashrah dan meninggal tahun 843 Masehi (sekitar seribu seratus tujuh puluh tahun yang lalu). Al-Asfahani yang wafat tahun 934 masehi (hampir seratus tahun setelah wafatnya al-‘Asham) adalah seorang ahli bahasa dan ahli ilmu al-Qur’an. Beliau berpandangan bahwa tidak ada nasikh-mansukh dalam al-Qur’an –pandangan yang ditolak jumhur ulama.
Dr Hudr M Nabha kemudian menghimpun ulang pendapat kedua tokoh besar pada zamannya ini dalam sebuah kitab tersendiri, yang diberi judul Tafsir Abi Bakr al-Asham wayalihi Tafsir Abi Muslim Muhammad bin Bahr al-Asfahani. Dr Nabha melacak pendapat keduanya dari tiga kita tafsir yang sering mengutip mereka: Tafsir Tabarsi (Syi’ah), Tafsir al-Razi (Sunni) dan Tafsir al-Thusi (Syi’ah). Sampai di sini ada paling tidak 5 catatan menarik yang bisa saya kemukakan:
Pertama, para ulama klasik sejak dulu sudah lintas mazhab. Tafsir ulama Sunni dan Syi’ah mengutip Tafsir ulama Mu’tazilah. Semakin luas bacaan kita semakin toleran pandangan kita. Kalau kita hanya belajar dari aliran kita sendiri, maka kita akan terkaget-kaget dan mudah menyalahkan pendapat yang baru kita dengar atau ketahui. Terlepas dari persoalan politik ketiga aliran di atas, sisi ilmiah harus tetap kita jaga.
Kedua, harus buru-buru saya tambahkan bukan berarti Tafsir al-Razi, misalnya, selalu menyetujui pandangan al-Asham, bahkan tidak jarang al-Razi mendiskusikan dan membantahnya, tapi yang jelas al-Razi tetap melakukan kejujuran ilmiah dengan mengutip pendapat dari mazhab yang berbeda. Ini satu hal yang harus dicontoh para pecinta ilmu lainnya.
Contoh, Tafsir al-Razi membahas mengenai apakah wajib membaca al-Fatihah dalam shalat, dan apakah wajib pula membaca al-Fatihah di setiap rakaat shalat. Setelah menguraikan bagaimana mazhab Syafi’i dan jumhur berpendapat, maka al-Razi mengutip pandangan al-Asham yang tidak mewajibkan membaca surat al-Fatihah dalam shalat. Imam Abu Hanifah sebenarnya juga berpandangan serupa, namun Al-Razi kemudian mengutip alasan dari al-Asham, bukan argumen Abu Hanifah yang sudah diketahui banyak orang. Al-Asham berpegang pada perintah Nabi, “shalatlah kalian sebagaimana melihat aku shalat”. Menurut al-Asham, dari perintah ini jelas bahwa yang diwajibkan itu mengikuti gerakan shalat Nabi, bukan bacaannya. Al-Razi kemudian membantah argumen al-Asham ini.
Ketiga, ternyata Dr Nabha tidak menghimpun pandangan kedua tokoh Mu’tazilah itu dari kitab tafsir karya Zamakhsyari. Inilah kitab Tafsir Mu’tazilah yang masyhur dan biasa dibaca dan dirujuk oleh para ulama sunni. Mengapa tidak merujuk dari al-Kasyaf nya Zamakhsyari? Saya kemudian melacak ternyata Zamakhsyari hanya di tujuh tempat mengutip pandangan al-Asham. Ini menarik sekali bahwa Tafsir Mu’tazilah sendiri jarang mengutip al-Asham dibanding Tafsir Tabarsi yang Syi’ah dan Tafsir al-Razi yang Sunni. Ada apa dengan Zamakhsyari?
Keempat, usaha Dr Nabha menghimpun pandangan terserak dari kedua tokoh Mu’tazilah ini hanya melahirkan satu jilid tafsir saja. Itupun singkat dan tidak lengkap, alias tidak semua surat dan ayat dibahas dalam buku ini. Sebagai contoh, dalam surat al-Maidah hanya ada 3 ayat yang dibahas. Kemudian dari surat al-Insan (76) lompat langsung ke surat al-Ikhlas (112). Ini menunjukkan pandangan kedua tokoh di atas dalam hal tafsir memang sangat terbatas.
Kelima, mengingat kedua tokoh ini dari aliran Mu’tazilah yang sekarang termarjinalkan dalam panggung dunia Islam, maka kita harus berhati-hati membaca kumpulan riwayat yang diklaim berasal dari kedua tokoh Mu’tazilah ini. Boleh jadi semua pandangan yang dianggap aneh dan syadz ditimpakan kepada mereka. Saran saya kita harus membaca langsung sumber pencantuman riwayat, dan ini pun masih terkendala karena ternyata sumber yang dipakai Dr Nabha ini berasal dari ulama yang berbeda aliran.
Satu contoh kita harus hati-hati menisbatkan pendapat yang aneh ke mereka adalah saya membaca sebuah artikel dari orientalis yang bernama Arthur Jeffery yang mengklaim bahwa al-Asham mengatakan surat fatihah itu bukan bagian dari al-Qur’an. Jeffery mengutip al-Asham dari Tafsir al-Razi, tapi hasil bacaan saya pada Tafsir al-Razi tidak menemukan pendapat al-Asham semacam itu. Di sinilah perlunya kita melakukan verifikasi dan tidak menerima mentah-mentah saja riwayat yang seolah dinisbatkan kepada al-Asham. Sebuah pekerjaan ilmuwan yang tidak berhenti untuk terus membaca, menggali, meneliti, dan memverifikasi. Asyik bukan?
Tabik,
Nadirsyah Hosen