You are here:

Kelahiran Hukum Islam di Mata Joseph Scahcht: Sebuah Komentar Awal

Kelahiran atau pembentukan hukum Islam dapat dilihat dalam tiga dimensi yang berbeda:

  1. Teoritis-abstrak
    Jika kelahiran hukum islam dimaksudkan berada dalam tataran teoritis-abstrak maka jawabannya harus dilihat dalam tataran filosofis. Hukum di sini diandaikan sebagai sesuatu yang abstrak dan belum berwujud. Pertanyaan dalam tataran filosofis ini adalah: apakah hukum lahir dari sesuatu di atas kemanusiaan kita (dari “atas”) ataukah hukum itu lahir dari sesuatu yang ada dalam kemanusiaan kita (dari “bawah”). Di sini kita tidak memerlukan istilah tekhnis hukum berikut pembagiannya apakah ini perdata, pidana atau mu’amalat atau jinayat.
  2. Disiplin ilmu
    Jika kelahiran hukum Islam dimaksudkan berada dalam dimensi disiplin ilmu maka kelahiran itu harus dilihat dalam ilmu syari’ah. Di sini telah ada istilah tekhnis dan segala hal yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan. Akan tetapi, lahirnya hukum Islam di sini dipandang dari sudut ilmiah semata. Ia tidak lagi abstrak tetapi ia masih bersifat teoritis. Jawaban terhadap pertanyaan kelahiran atau pembentukan hukum Islam bila dilihat dalam tataran ini dapat dilacak pada pertanyaan kapan sebuah ilmu syari’ah (i.e. Ilmu ushul al-fiqh-ilmu fiqh) itu lahir sebagai sebuah disiplin ilmu.
  3. Praktis-aplikatif
    Bila yang dimaksud pembentukan atau kelahiran hukum Islam itu berada dalam dimensi ini, maka kelahiran hukum Islam itu harus dilihat dalam produk hukum. Pada tataran ini hukum Islam tidak lagi berada dalam tataran filosofis ataupun sebagai disiplin ilmu tetapi bagaimana hukum Islam itu dipraktekkan dan diaplikasikan sehingga terwujud, baik dalam bentuk Undang-undang, keputusan hakim, kitab fiqh, fatwa ataupun lainnya.

Ketika Joseph Schacht (1970) menulis: “Islamic law as we know it today can not be said to have existed as yet in the time of Muhammad; it came gradually into existence during the first century of Islam,” maka eksistensi hukum Islam pada tataran apa yang dimaksud Joseph Scahcht. Dalam karyanya yang lain Schacht menulis (1955), “During the greater part of the first century, Islamic law in the technical meaning of the term did not yet exist.” Ann K.S Lambton (1991), yang tampaknya juga mengutip Schacht, menambahkan, “Although Muhammad became in the latter part of his life the ruler and law-giver of a new society his original aim had been not to create a new system of law, but to teach men what to do and whata to avoid in order to pass the reckoning on the day of judgement and to enter paradise. He was not responsible for the final formation of Islamic law.”

Sekali lagi, dalam dimensi apa Schacht “bermain-main” ?

Jika yang dimaksud oleh Scahcht ada pada dimensi pertama, maka ia harus menjelaskan bagaimana konsep hukum Islam itu muncul pertama kali “dari atas” (wahyu Tuhan) ataukah ia muncul dari “bawah” (hasil interaksi dengan masyarakat). Persoalannya, sekali lagi jika memang ia berada pada dimensi pertama, apakah hukum pada masa Muhammad saw., terlepas hukum Islam itu “dari atas” atau “dari bawah”, telah ada/eksis atau tidak? Boleh jadi Schacht benar ketika ia mengatakan bahwa istilah teknis belum ada pada masa Muhammad. Bukankah kita pun mengakui bahwa istilah al-ahkam al-khamsah dirumuskan jauh setelah wafatnya Nabi. Ahmad Hasan dalam “The Early Development of Islamic Jurisprudence” menunjukkan bukti bahwa al-ahkam al-khamsah tidak terdapat dalam karya-karya ulama klasik, semisal Imam Malik dan al-Awza’i.

Jika yang dimaksud oleh Scahcht ada pada dimensi kedua, maka boleh jadi ia benar. Karena disiplin ilmu syari’ah pada masa Nabi Muhammad saw memang belum ada. Sebagai contoh, peletak dasar ilmu usul al-fiqh, bagi kalangan ASWAJA, diyakini berawal dari Imam Muhammad Idris as-Syafi’i. Sedangkan Imam Syafi’i hidup jauh sesudah masa hidup Muhammad saw.

Jika yang dimaksud adalah pembentukan hukum Islam pada dimensi ketiga maka Schacht harus menjelaskan proses bagaimana “lahirnya” suatu hukum ditangan pemerintah, qadi atau bahkan hakam (arbiter). Artinya, adakah data-data yang sahih yang menunjukkan bahwa institusi peradilan, sebagai salah satu sarana melahirkan produk hukum, belum ada pada masa Muhammad?

Sayangnya, saya belum berani memastikan tesis Schacht berada dalam dimensi yang mana. Terlepas dari hal itu, saya kira premis-premis yang digunakan Schacht memang cukup layak untuk diperdebatkan, seperti cara ia memandang al-Qur’an sebagai sumber hukum yang kedua, keraguannya akan sanad-sanad hadis yang melahirkan teori projecting back, kesimpulannya yang amat terburu-buru mengenai pengadopsian hukum Romawi, filsafat Yunani, dan lainnya ke dalam hukum Islam.

Hal lain yang bisa didiskusikan lebih jauh adalah bagaimana Schacht memandang hakikat hukum Islam. Hal ini diperlukan untuk mengklarifikasikan “obyek” pembahasan antara kita dan Schacht. Para orientalis memandang bahwa hukum Islam itu bukan hukum dalam pengertian hukum modern (law in the modern sense). Khalid Mas’ud (1977) menegaskan, “In defining Islamic law, Islamicists conclude that it is a system of ethical or moral rules.”

Juga harus diperhatikan kesimpulan J.N.D Anderson ketika ia mencoba membedakan antara sistem hukum barat dengan sistem hukum Islam: “…the second basic difference between these two system of law, namely, that Islamic law is enormously wider in its scope than western law…It thus covers every field of law –public and private, national and international– together with an enormous amount of material that we in the west would not regard as law at all.”

Siapa tahu ini juga yang membuat Schacht berbeda dengan kita sejak mula pertama kali?!!

Al-Haq min Allah!