Penjelasan saya soal dalil dikomentari oleh salah satu netizen bahwa QS an-Nisa:59 hanya memerintahkan kita untuk merujuk kepada Allah dan RasulNya. Tidak terdapat dalil lain selain al-Qur’an dan Hadits. Benarkah demikian?
Saya hendak menjelaskannya dengan cara ngaji langsung kepada Imam Syafi’i lewat karya beliau yang berjudul ar-Risalah. Kitab karya beliau ini dianggap sebagai tonggak berdirinya disiplin ilmu Ushul al-Fiqh. Beliaulah yang pertama kali menyusun dengan sistematis cara atau metode melakukan ijtihad. Jadi biarlah Imam Syafi’i, lewat kitabnya, yang langsung menjelaskan. Insya Allah tidak akan ada tuduhan liberal, sesat, kecebong (dan cacian lainnya) dari netizen kepada Imam Syafi’i.
Mari kita niatkan ngaji dengan terlebih dahulu mengirimkan bacaan surat al-Fatihah kepada Imam Syafi’i. Lahul fatihah
باب: فرض الله طاعة رسول الله مقرونة بطاعة الله، ومذكورة وحدها.
قال الله: ” وما كان لمؤمن ولا مؤمنة إذا قضى الله ورسوله أمرا أن يكون لهم الخيرة من أمرهم، ومن يعص الله ورسوله، فقد ضل ضلالا مبينا (٣٦) ” [الأحزاب] .
وقال: ” ياأيها الذين آمنوا أطيعوا الله، وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم، فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله والرسول إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الآخر ذلك خير وأحسن تأويلا (٥٩) ” [النساء] .
فقال بعض أهل العلم: أولوا الأمر: أمراء سرايا رسول الله – والله أعلم – وهكذا أخبرنا.
يشبه ما قال – والله أعلم -، لأن كل من كان حول مكة من العرب لم يكن يعرف إمارة، وكانت تأنف أن يعطي بعضها بعضا طاعة الإمارة.
فلما دانت لرسول الله بالطاعة، لم تكن ترى ذلك يصلح لغير رسول الله.
فأمروا أن يطيعوا أولي الأمر الذين أمرهم رسول الله، لا طاعة مطلقة، بل طاعة مستثناة، فيما لهم وعليهم، فقال: ” فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله (٥٩) ” [النساء] ، يعني: إن اختلفتم في شيء.
وهذا – إن شاء الله – كما قال في أولي الأمر، إلا أنه يقول: ” فإن تنازعتم “، يعني – والله أعلم – هم وأمراؤهم الذين أمروا بطاعتهم، ” فردوه إلى الله والرسول “، يعني – والله اعلم – إلى ما قال الله والرسول إن عرفتموه، فإن لم تعرفوه سألتم الرسول عنه إذا وصلتم، أو من وصل منكم إليه.
لأن ذلك الفرض الذي لا منازعة لكم فيه، لقول الله: ” وما كان لمؤمن ولا مؤمنة إذا قضى الله ورسوله أمرا أن يكون لهم الخيرة من أمرهم (٣٦) [الأحزاب] .
ومن تنازع ممن بعد رسول الله رد الأمر إلى قضاء الله، ثم قضاء رسوله، فإن لم يكن فيما تنازعوا فيه قضاء، نصا فيهما ولا في واحد منهما، ردوه قياسا على أحدهما، كما وصفت من ذكر القبلة والعدل والمثل، مع ما قال الله في غير آية مثل هذا المعنى.
وقال: ” ومن يطع الله والرسول فأولئك مع الذين أنعم الله عليهم من النبيين والصديقين والشهداء والصالحين وحسن أولئك رفيقا (٦٩) [النساء] .
[ص: ٨٢] وقال: ” ياأيها الذين آمنوا أطيعوا الله ورسوله (٢٠) ” [الأنفال] .
Kitab ar-Risalah karya Imam Syafi’i (halaman 79-82)
Bab Kewajiban Taat Kepada Rasulullah Bersesuaian dengan Ketaatan Kepada Allah dan Hal Lainnya
Allah berfirman:
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS al-Ahzab:36)
Dan juga:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS an-Nisa:59)
Ada sebagian ulama yang berpendapat ulil amri adalah komandan militer di masa Rasulullah. Wa Allahu a’lam. Demikian kabar yang kami terima.
Dan Allah Maha Mengetahui, ini sesuai dengan konteks semua orang Arab di seputaran Mekkah (saat itu) tidak tahu tentang ketaatan kepada pimpinan komando tersebut dan mereka enggan memberi ketaatan kepadanya. Ketika ketaatan telah diberikan kepada Rasulullah, mereka (orang Arab saat itu) tidak berpikir bahwa ketaatan layak diberikan kepada selain Rasulullah.
**
[Komentar saya: Imam Syafi’i kelihatannya merujuk pada asbabun nuzul QS an-Nisa:59 dimana menurut Ibn Abbas bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Abdullah bin Huzafah bin Qays as-Samhi ketika Rasul mengangkatnya menjadi pemimpin dalam sariyah (perang yang tidak diikuti oleh Rasulullah saw.). Sedangkan As-Suddy berpendapat bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Amr bin Yasir dan Khalid bin Walid ketika keduanya diangkat oleh Rasul sebagai pemimpin dalam sariyah. Yang intinya selain taat kepada Allah dan Rasul, kita pun diminta taat kepada ulil amri].
**
Maka mereka diperintah untuk taat kepada ulil amri yaitu yang sudah ditunjuk oleh Rasul, dengan persyaratan, bukan dengan ketaatan yang mutlak, yaitu tergantung dengan perbuatan mereka.
Allah berfirman pada ayat di atas: “Jika kemudian terjadi perselisihan, maka merujuklah kepada Allah.”
**
[Komentar saya: Imam Syafi’i masih menjelaskan point ini dengan merujuk pada konteks turunnya ayat, yaitu dalam satu riwayat dikisahkan Rasulullah mengutus satu pasukan khusus dan mengangkat salah seorang Anshar menjadi komandan mereka. Tatkala mereka telah keluar, maka ia marah kepada mereka dalam suatu masalah, lalu ia berkata: `Bukankah Rasulullah memerintahkan kalian untuk mentaatiku?’ Mereka menjawab: ‘Betul.’ Dia berkata lagi: ‘Himpunlah untukku kayu bakar oleh kalian.’ Kemudian ia meminta api, lalu ia membakarnya, dan ia berkata: ‘Aku berkeinginan keras agar kalian masuk ke dalamnya.’ Maka seorang pemuda di antara mereka berkata: ‘Sebaiknya kalian lari menuju Rasulullah dari api ini. Maka jangan terburu-buru (mengambil keputusan) sampai kalian bertemu dengan Rasulullah perintahkan kalian untuk masuk ke dalamnya, maka masuklah.’ Lalu mereka kembali kepada Rasulullah dan mengabarkan tentang hal itu. Maka Rasulullah pun bersabda kepada mereka: ’Seandainya kalian masuk ke dalam api itu, niscaya kalian tidak akan keluar lagi selama-lamanya. Ketaatan itu hanya pada hal yang baik (yang ma’ruf)”‘.]
**
Yang dimaksud Allah tentang ayat di atas adalah ulil amri. Ketika Allah berfirman “jika kalian berselisih/berbeda pendapat” yang dimaksud itu jika berselisih pendapat dengan mereka ulil amri yang diperintahkan untuk ditaati.
Lalu firmanNya, “kembalikanlah masalah itu kepada Allah dan RasulNya” maksudnya adalah “kembalikan kepada Allah dan RasulNya jika kalian mengetahuinya”. Kalau kalian tidak mengetahuinya, bertanyalah kepada Rasulullah, jika bisa bertanya kepada beliau. Kalau tidak bisa, tanyakan kepada orang yang telah mengetahui penjelasannya dari Rasulullah. Cara Ini adalah kewajiban yang tidak bisa diperdebatkan lagi.
Allah berfirman:
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka…” (QS al-Ahzab:36)
**
[Komentar saya: Imam Syafi’i melakukan penafsiran terhadap Qs an-Nisa:59 mengenai cara menyelesaikan perbedaan pandangan dengan ulil amri, yaitu kembalikan kepada Allah dan Rasul kalau umat Islam saat itu mengetahui tentang hukum syara’ di dalam al-Qur’an dan Hadits. Kalau tidak tahu, bertanya langsung ke Rasul agar mendapat penjelasan. Jika karena satu dan lain hal tidak bisa bertanya langsung (mungkin sedang dalam perjalanan di luar Madinah) maka bertanyalah pada yang sudah pernah mendengar penjelasan dari Rasul. Ini untuk umat saat itu yang hidup di masa Rasulullah. Bagaimana dengan kita sekarang? Imam Syafi’i menjelaskan di bawah ini].
**
Mengenai perselisihan pendapat yang terjadi setelah wafatnya Rasulullah maka mereka harus mengembalikan masalah itu kepada ketentuan Allah, kemudian ketentuan Rasul. Apabila yang mereka perselisihkan itu tidak terdapat teks keputusannya di keduanya atau di salah satunya, maka kembalikan masalah itu kepada Qiyas (analogi) berdasarkan pada Qur’an atau Hadits, sebagaimana telah saya jelaskan saat mengupas masalah kiblat, keadilan (saksi), mitsil, dan firman Allah di dalam ayat yang semakna dengan itu.
Allah berfirman:
“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (AS an-Nisa:69)
Dan juga:
“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya…” (QS al-Anfal:20)
**
[Komentar saya: Imam Syafi’i telah mengupas cara melakukan istinbath hukum berdasarkan QS an-Nisa:59. Selain merujuk kepada ketentuan Allah (al-Qur’an) dan ketentuan Rasul (Hadits), ayat di atas juga dipahami Imam Syafi’i berkenaan dengan dua golongan yaitu orang yang tahu dan orang yang tidak tahu (awam). Orang yang memiliki ilmu bisa langsung memahami ketentuan Allah dan RasulNya. Orang yang tidak tahu (awam) bisa meminta penjelasan dari Rasul atau dari orang yang paham (sahabat Nabi) tentang penjelasan Rasul. Kemudian, ayat di atas juga menjadi dasar berlakunya Qiyas, yaitu dengan melakukan analogi kasus baru dengan kasus hukum atau ketentuan yang sudah terdapat di dalam al-Qur’an dan Hadits. Maka Qiyas itu sebenarnya juga merujuk kepada al-Qur’an dan Hadits sesuai yang dimaksud dalam QS an-Nisa:59. Kembali kepada al-Qur’an dan Hadits bisa melalui bertanya kepada ulama yang paham al-Qur’an dan Hadits, maupun dengan melakukan ijtihad yang salah satunya berupa Qiyas]
**
Demikian penjelasan Imam Syafi’i. Jadi, jelaslah sudah peranan ulama dan juga penggunaan dalil selain al-Qur’an dan Hadits. Di masa Imam Syafi’i hidup saja begitu banyak persoalan yang sebelumnya tidak terjadi atau tidak ditemui pada masa turunnya al-Qur’an dan masa hidup Nabi, apalagi pada era kita sekarang hidup di abad 21. Maka penjelasan Imam Syafi’i telah menjadi dasar bagi para ulama untuk melakukan ijtihad.
Tabik,
Nadirsyah Hosen